(Business Lounge Journal – Interview Session)
Kali ini Business Lounge Journal bertandang ke Linda Gallery. Sebuah galeri seni rupa yang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Berbincang dengan Ali Kusno Fusin, sang pemilik galeri, ada banyak hal yang dapat kita pelajari mengenai seni rupa di Indonesia. Salah satunya adalah bagaimana kini seni rupa Indonesia bangkit, setelah 13 tahun flat. Ini sangat menarik!
Linda Gallery
Ali Kusno mendirikan Linda Gallery pada 32 tahun yang lalu, dengan menggunakan nama sang isteri. Kemudian, ia memutuskan untuk membuka cabang di Singapura pada tahun 1997 dan di Beijing pada tahun 2003.
Bermula dari keinginannya untuk ikut berperan dalam menjaga kebudayaan bangsa, ia pun mulai malang melintang di dunia seni rupa. Latar belakangnya sebagai seorang pengusaha pun menjadi modal yang kuat untuk menekuni pasar seni rupa dunia.
“Sebagai bangsa yang besar kita harus menghormati kebudayaan kita. Karya-karya yang dibuat pendahulu kita, harus dikoleksi. Jangan sampai suatu saat, kita tidak punya koleksi-koleksi mereka,” ujar Ali. Ia pun mengisahkan perjuangannya untuk dapat memamerkan karya seni para maestro Indonesia di dunia internasional. “Selain kita dagang, saya yakin kita itu pertama yang membawa karya Indonesia ke luar negeri sehingga orang luar negeri bisa mengkoleksi karya seni Inonesia”, demikian penuturan Ali.
All Master Gallery
Linda Gallery menyebut galerinya sebagai All Master Gallery. Itulah sebabnya Linda Gallery memiliki fokus untuk mengoleksi hasil karya para maestro Indonesia seperti Affandi, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan, juga I Nyoman Nuarta.
Saat ini, Linda Gallery banyak mengoleksi patung-patung karya I Nyoman Nuarta. Menurut Ali, I Nyoman Nuarta adalah aset nasional. “Di Asia belum ada artis yang membuat patung dari bronze sebesar GWK (Garuda Wisnu Kencana). Ini paling besar di Asia yang pakai bronze dan bukan hanya Asia, sebenarnya sudah kelas dunia.” Sebagai perbandingan, patung GWK memiliki tinggi 2 kali tinggi patung Liberty.
Maestro Indonesia di Dunia
Ketika Ali Kusno ditanyakan tentang bagaimana posisi maestro Indonesia di dunia, maka Ali mengisahkan bagaimana keadaan seni rupa Indonesia pada awal tahun 2000. Indonesia sebenarnya berada pada posisi satu atau dua di Asia untuk karya seni. Bahkan untuk patung dapat dikatakan bahwa di Asia Tenggara, Indonesia adalah yang pertama sejak 15 tahun yang lalu. Ketika banyak penikmat seni belum mengapresiasi patung, kita sudah memulainya.
Tetapi saat ini Indonesia telah banyak ‘dilewati’ oleh negara-negara lain, seperti China, India, bahkan saat ini telah dilewati Vietnam, Filipina, dan Thailand.
Sejak tahun 2008, perkembangan seni rupa di Indonesia tidak terlalu pesat, demikian dilukiskan Ali. Namun setelah flat selama 13 tahun, Ali Kusno mengatakan bahwa ini adalah waktunya seni Indonesia unjuk gigi.
Lebih jauh menjelaskan arti kata ‘dilewati’, Ali mengatakan bahwa itu bukan dari segi mutu, melainkan dari segi harga di market. “Maestro kita, kalah dengan maestro Filipina, harganya, kalah dengan Vietnam, Thailand”, demikian penjelasa Ali. “Kalau kualitas gak usah kuatir, Indonesia masih top,” lanjut Ali.
Penyebab 13 tahun seni rupa Indonesia flat
Ada beberapa hal yang menyebabkan seni rupa Indonesia flat selama 13 tahun:
- Indonesia itu hanya mengandalkan kolektor lokal. Tidak keluar marketnya. Sedangkan kolektor lokal tidak secepat penambahan artis.
- Terpengaruh oleh bubble pada tahun 2005-2006 sehingga semua karya seni mahal. Namun setelah itu harga pun jatuh. Dampak berlanjut setelah pada tahun 2008 terjadi krisis yang banyak menerpa semua bisnis di seluruh dunia.
- Banyaknya terjadi pemalsuan karya seni. Karya Hendra Gunawan yang saat ini banyak beredar, 90% adalah produk palsu, demikian dijelaskan Ali. Begitu juga dengan karya seni yang diklaim hasil karya Affandy dan Basuki Abdullah, 90% yang beredar adalah palsu. Sehingga diperlukan keahlian untuk dapat mengidentifikasi yang asli.
Sebenarnya telah terjadi peningkatan dalam jumlah komposisi pasar seni rupa di dunia. Semula pasar seni rupa Asia hanya mengambil porsi 30% di dunia. Namun sekarang sudah mencapai 50%. Namun pertumbuhan yang terjadi bukan di Indonesia. Tetapi saat ini telah ada tanda-tanda pertumbuhan itu di Indonesia. Karena itu, Linda Gallery terus berupaya supaya hasil karya seni rupa Indonesia dapat dengan mudah diakses dari seluruh dunia baik secara online maupun offline.
Untuk hal ini, Ali menyadari benar bahwa diperlukan kerja sama dari semua stakeholder, baik seniman, galeri, rumah lelang, art fair, kurator, museum, juga media. Sehingga seni rupa Indonesia pun dapat semakin bertumbuh.
Rahasia di Masa Pandemi
Sebenarnya pandemi yang menerpa dunia, juga cukup membawa dampak pada Linda Gallery. Namun Ali Lusno bukanlah orang yang mudah menyerah. Ketika hampir dapat dikatakan bahwa seluruh bisnis bergerak melambat, Linda Gallery malah melakukan transaksi hingga mencapai hampir 2 kali lipat dari biasanya. Wow!
Rahasianya?
“Ada 30-50 galeri. Saat pandemi, semua slow down“, jelas Ali. “Market memang slow down tapi kita kan satu dari sekian banyak. Kalau kita yakin dan terus berusaha, maka kita akan mendapat pembeli yang mau spent money. Tetapi karena semua slow down, akhirnya mereka ke kita yang tetap optimis”, Ali melanjutkan.
Jika galeri harus bekerja keras sedemikian rupa, maka apalagi sang seniman. Penjelasan Ali ini benar-benar ‘menggugurkan’ bahwa seorang seniman sangat identik dengan mood-nya. Jika mood-nya baik, maka ia dapat berkarya. Namun jika sedang tidak memiliki inspirasi, maka ia dapat berhenti.
Ini kesalahan besar.
Ali Kusno menjabarkan bahwa seniman itu sama dengan seorang penyanyi, dengan seorang atlet. Apakah bisa seorang atlet berhenti berlatih? Tidak! Diperlukan kerja keras dan komitmen serta disiplin dan giat berlatih.
“Bila seorang artis tidak bisa mengontrol mood-nya, bagaimana ia mau menjadi seorang maestro? Justru makin banyak latikan, maka mood akan semakin bagus,” terang Ali.
Ia pun menyebutkan I Nyoman Nuarta sebagai contoh seorang maestro. “Dari umur 20 tahun lebih sampai sekarang sudah matung terus sampai hari ini. Bangun GWK selama 28 tahun, dia tetap berusaha akhirnya jadi. Bahkan sampai hari ini, ia tetap bekerja 8 jam sehari,” jelas Ali. “Artis yang kayak gini yang perlu kita dukung,” lanjutnya.
Menyasar Generasi Muda
Sekarang Linda Gallery sedang berupaya menjangkau generasi muda. Ali mengakui bahwa sebelum memasuki masa pandemi, pembeli lukisan berada pada kisaran umur 50 tahun ke atas. Walaupun ada juga yang di bawah 50 tahun namun tidak banyak.
Namun berbeda ketika dunia seni juga mulai memasuki dunia online. Sekarang tren mereka yang membeli karya seni ada pada usia 35 tahun ke atas. “Orang-orang muda sudah memiliki income yang cukup besar. Sehingga trend-nya tambah lama tambah muda,” jelas Ali.
Berinvestasi di Seni Rupa
Ali Kusno juga menjelaskan bahwa kita bisa saja berinvestasi dalam karya seni. Bahkan jika kita memilih karya seni yang benar, kenaikan harga yang kita peroleh bisa melebihi kenaikan harga saham. Tetapi jika salah membeli, harga juga bisa jadi turun.
Ada beberapa hal yang dibagikan Ali bagi mereka yang mau mencoba berinvestasi pada karya seni.
- Suka dulu – itu yang penting
Ini adalah tips yang pertama. Tidak ada yang tahu apakah harga karya seni yang kita beli akan naik atau turun di kemudian hari. Jika kita mengharapkan naik, maka kita dapat kecewa di kemudian hari. Tetapi jika kita membeli sebuah karya seni karena kita menyukainya, maka paling tidak karya seni itu dapat memberikan kenikmatan pada mata kita.
2. Pertimbangkan karya seni yang akan dibeli sebagai alat investasi.
Apakah karya seni tersebut memiliki agent? Siapa yang menjadi agent-nya? Apakah karya seni tersebut pernah dilelang? Sebab karya seni yang pernah dilelang, kemungkinan besar bukan karya seni ‘sembarangan’.
Perhatikan juga, apakah karya seni ini pernah dipamerkan? Di mana pamerannya? Karya seni yang pernah dipamerkan di museum, bahkan di luar negeri, pasti akan menambah nilai.
Lalu dapat dicari tahu juga, siapakah kolektor yang pernah menyimpan karya seni tersebut.
Namun membeli karya seni atas dasar suka, menjadi sebuah poin yang sangat penting.
NFT – Seni untuk semua orang
Mengikuti perkembangan teknologi, Ali Kusno pun sedang mengembangkan NFTOne, sebuah paltform yang akan menjual karya seni para emerging arists dalam bentuk NFT.
“Itu adalah seni yang bercampur dengan teknologi”, terang Ali. “Tapi seni tetap seni. Jadi ada plus dan minusnya,” lanjutnya. Dari segi positif, teknologi NFT ini dapat menyelesaikan masalah soal pemalsuan. Sebab semua yang disimpan sebagai NFT akan terdaftar. Sehingga jika ada yang mendaftarkan hasil karya tiruan, jelas akan ketahuan.
Dengan mempersiapkan NFTOne, maka Ali akan menargetkan generasi yang lebih muda lagi, yaitu mereka yang berumur 20 tahun ke atas. Namun Ali akan menargetkan NFT yang dijualnya tidak lebih dari dua juta rupiah. Bahkan diharapkan dapat lebih murah dari lima ratus ribu rupiah.
Memiliki NFT, maka sang pemilik bebas mencetaknya dan kemudian memajangnya di mana saja.
“Itu yang saya mau: memperkenalkan ke masyarakat luas bahwa seni itu bukan hanya orang kaya yang bisa menikmatinya. Semua orang harus punya hak menikmati seni,” ujar Ali dengan semangat.
Bersiap untuk Art Jakarta 2022
Saat ini, Linda Gallery sedang bersiap untuk mengikuti Art Jakarta 2022 yang akan diadakan pada 26-28 Agustus 2022.
Bertempat di JCC, Linda Gallery akan memamerkan 6-8 karya I Nyoman Nuarta yang terbaru. Mengapa karya I Nyoman Nuarta? Ali merasa dengan adanya GWK sebagai hasil karya Nyoman, lalu terpilihnya juga design beliau untuk istana kepresidenan di IKN Nusantara, maka sudah waktunya I Nyoman Nuarta muncul untuk mewakili artis Indonesia ke dunia.
Ali berharap I Nyoman Nuarta dapat menjadi lokomotif yang akan diikuti oleh banyak seniman Indonesia.