Hidup di Era VUCA, Siapkah?

uncertainty1

(Business Lounge – General Management) Selamat datang di era VUCA! Bagi Anda yang masih asing, VUCA adalah singkatan yang dipopulerkan Bob Johansen lewat bukunya Leaders Make The Future. VUCA sebenarnya singkatan. V berasal dari kata Volatile, atau situasi yang selalu berubah-ubah. Lalu, U adalah Uncertain atau situasi yang penuh dengan ketidakpastian. C berarti Complex, yakni suatu kondisi yang kian rumit. Urusan A terkait dengan urusan B, C, D dan E. Semua saling tali temali. Kalau mau mengubah A, kita harus menyelaraskannya dengan B, C, D dan E. Maksudnya, mengubah itu semua. Rumit bukan? Lalu, A yang terakhir adalah Ambiguous, atau kondisi yang membuat kita selalu merasa ambigu atau ragu.

Sejatinya, istilah VUCA pertama kali diperkenalkan di sekolah-sekolah calon pimpinan militer di Amerika Serikat (AS). Di sana, para calon pimpinan tadi ditempa sedemikian rupa untuk tidak boleh ragu menghadapi situasi yang selalu berubah, rumit, semakin kompleks dan seringkali membuat mereka merasa bimbang dan ragu.

Unjuk Rasa
Fenomena VUCA itulah sekarang yang kita hadapi bersama. Contohnya, Senin (14/3) kemarin ribuan pengemudi taksi melakukan unjuk rasa. Mereka berkumpul di titik-titik tertentu dan kemudian bergerak bersama-sama menuju kawasan Monumen Nasional (Monas). Ada dua lokasi yang menjadi tujuan utama mereka, yakni kawasan Balaikota dan Istana Merdeka. Di Balaikota, berkantor Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sementara, Istana Merdeka adalah kantor dari Presiden RI Joko Widodo.

Unjuk rasa yang dilakukan para pengemudi taksi beranjak dari nasib yang mereka alami. Semenjak maraknya layanan angkutan yang berbasis aplikasi online, baik taksi maupun ojek, pendapatan mereka turun tajam. Mereka kesulitan untuk memenuhi target setoran ke perusahaan. Apalagi membawa sebagian setoran ke rumah untuk memenuhi kebutuhan anak-istri.

Kita tentu prihatin dengan nasib para pengemudi taksi tersebut. Juga, dengan nasib para pengemudi ojek pangkalan. Namun, di sisi lain, kita juga merasa sangat terbantu dengan hadirnya layanan angkutan yang berbasis aplikasi. Lebih mudah mendapatkannya, dan tarifnya pun lebih terjangkau—kalau tidak mau dikatakan lebih murah.
Akankah kita melarang begitu saja layanan angkutan yang berbasis aplikasi demi menyelamatkan ribuan pengemudi taksi konvensional dan ojek pangkalan? Bukankah para pengemudi taksi berbasis aplikasi, atau ojek online, juga membutuhkan penghasilan untuk anak dan istrinya?

Obsesi Kecepatan
Kondisi VUCA tercipta akibat obsesi kita mengenai kecepatan. Contohnya taksi dan ojek online tadi. Bukankah kita memilih karena kecepatan layanannya, selain tarifnya yang murah?

Manusia sejatinya memang selalu ingin serba cepat. Kalau kita memesan makanan di restoran, kita ingin pesanan cepat tersaji. Keinginan seperti itulah yang memicu lahirnya bisnis makanan cepat saji.

Obsesi kecepatan membuat kita membangun jalan tol. Sebab dengan lewat jalan tol, perjalanan tidak akan terganggu oleh lampu merah atau kendaraan yang parkir sembarangan. Jadi kita bisa cepat sampai ke tujuan—meski kenyataannya kerap berbeda. Jalan-jalan tol di Jakarta kerap lebih macet ketimbang jalan arteri.

Obsesi terhadap kecepatan juga membuat para produsen pesawat berlomba-lomba mendesain pesawat yang mampu terbang lebih cepat. Maka, lahirlah pesawat sekelas Concorde yang mampu terbang dengan kecepatan 2.179 kilometer per jam. Sayangnya kini Concorde sudah pensiun. Meski begitu penggantinya sudah siap, yakni Virgin Galactic SS2 milik Sir Richard Branson. Pesawat ini mampu melaju hingga 6.700 kilometer per jam.

Meski di darat, kalau bisa kita juga ingin melaju secepat di udara. Maka, lahirlah kereta Shinkansen di Jepang yang mampu melaju dengan kecepatan 201 kilometer per jam, Inter City Express di Jerman (280 kilometer per jam), Shanghai Maglev Train di Tiongkok (430 kilometer per jam), TGV Reseau di Prancis (515 kilometer per jam), dan beberapa lainnya.

Puaskah kita? Belum. “Speed provides the one genuinely modern pleasure,” kata Aldous Leonard Huxley, filsuf asal Inggris. Para ilmuwan menjuluki abad kecepatan tersebut sebagai abad VUCA. Maka, Elon Musk, pemilik Space X dan Tesla, merancang Hyperloop. Ini adalah kereta super cepat yang mampu melaju hingga 1.100 kilometer per jam. Dengan kereta cepat itu, jarak San Francisco-Los Angeles sejauh 560 kilometer dapat ditempuh hanya dalam waktu 30-an menit.

Itulah era VUCA. Obsesi kita akan bisa membuat bisnis-bisnis yang mapan hancur berantakan, tetapi di sisi lain juga menjanjikan perbaikan. Sayangnya tak semua kita siap beradaptasi dengan era tersebut. Maka, muncullah aksi demo yang tidak perlu dan bahkan malah mengganggu produktivitas kita bersama.

 JB Soesetiyo/VMN/BL/Podomoro University
Editor: Ruth Berliana
Image : Business Lounge Journal